Kamis, 13 Mei 2010

Kwartet Part1

(Sooyoung’s POV)
“Sooyoung-ah! Bangun!”
Aku pura-pura tidak mendengar suara Seohyun.
“Sooyoung-ah! Aku tahu Kau sudah bangun! Cepatlah mandi! Yang lain sudah siap dari tadi.”
Aku menarik bantal dari bawah kepalaku dan menutupkannya ke kedua telingaku.
“Yah! Go Sooyoung! Cepat bangun!” Seohyun berteriak sekarang. Dia menarik bantal yang menutup telingaku, dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Aku tidak mau mengambil risiko menderita tuli di usia mudaku. Jadi aku duduk.
“Cepat mandi dan bersiap-siap. Yang lain sudah siap semua,” kata Seohyun sambil melemparkan handuk ke pangkuanku.
Aku berjalan ke kamar mandi dengan mata masih terpejam.
Setelah mandi secepat kilat─aku bukan tipe yang suka berlama-lama di kamar mandi seperti Seohyun─aku keluar dari kamar mandi dan melihat Seohyun duduk di atas kasurku. Tempat tidurku sudah rapi.
Aku tersenyum kepadanya, “Gomawoyoh! Kau membereskan tempat tidurku.”
Seohyun mencibir dan menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti memang-begini-setiap-hari dan itu-adalah-kutukan-untukku-sebagai-saudaramu.
“Cepatlah bersiap-siap. Yuri-unni dan Yoona-unni juga sudah datang,” katanya.
Aku mengangkat alis. Apa aku tidak salah dengar?
“Kau memanggil mereka ‘Unni’?” tanyaku sambil memakai gaunku.
Seohyun mengangguk dengan tampang apa-salahnya.
“Kau tidak memanggilku ‘Unni’!” tuntutku.
Dia tidak menjawab.
Aku selesai dengan gaunku. Sekarang aku berusaha mengikat rambutku. Tapi, sejak kecil aku memang tidak berbakat berdandan dan tidak suka berdandan. Karena itu selama ini aku selalu membiarkan rambutku tergerai. Menurutku itu keren, tapi menurut Seohyun itu berantakan. Aku jelas tidak suka harus repot-repot mengikat rambutku dengan rapi. Tapi kemarin Dana-unni berkali-kali mengingatkanku untuk mengikat rambutku agar penampilanku benar-benar kembar dengan Seohyun.
Seohyun bangkit dari tempat tidur dan tanpa berkata apa-apa mengambil sisir dari tanganku lalu mulai menata rambutku.
Aku memperhatikan pantulan bayanganku di depan cermin saat Seohyun sibuk dengan pita di rambutku. Dengan rambutku (jauh) lebih rapi daripada biasanya dan dengan gaun tanpa lengan ini, aku merasa sangat mirip dengan Seohyun. “Kau tidak memanggilku ‘Unni’,” ulangku.
“Iya,” jawabnya sambil lalu.
“Yah! Lalu kenapa Kau memanggil mereka ‘Unni’? Aku seusia dengan mereka! Yuri-ah cuma lebih tua setengah jam dari aku! Yoona-yah cuma lebih muda lima menit! Dan Kau cuma lebih muda lima belas menit daripada Yoona-yah!” aku berteriak lagi.
“Jangan banyak bergerak!” katanya. Jelas tidak memedulikan protesku.
Aku hanya bisa memandangnya marah dari cermin. Dan dia tampak tenang memberikan sentuhan terakhir pada rambutku.
“Kau lebih cantik kalau begini,” katanya sambil memandang bayanganku di cermin dengan tatapan puas setelah selesai dengan pekerjaannya.
Aku membalikkan badan dan berhadapan dengan wajah saudara kembarku ini.
“Jangan panggil mereka ‘Unni’ kalau Kau tidak memanggilku ‘Unni’!” kataku galak.
Seohyun menghela nafas pendek dan jelas menganggap aku kekanak-kanakan. Tapi aku tidak peduli. Kalau dia ingin memanggil dua saudara kembar kami yang lain ‘Unni’, berarti dia juga harus memanggilku ‘Unni’.
“Kau tidak dewasa. Jadi aku tidak memanggilmu ‘Unni’,” katanya kalem sambil menyerahkan sepatu hak tinggiku ke tanganku. Sebenarnya itu bukan sepatuku. Jelas aku tidak akan pernah sengaja membeli sepatu sejenis itu. Itu adalah sepatu Tiffany, sepupu kami, yang dipinjamkan padaku untuk acara hari ini.
Aku memandangnya dengan sebal. “Lalu kenapa Kau memanggil mereka ‘Unni’? Kau baru kenal mereka tiga minggu yang lalu dan belum tahu mereka dewasa atau tidak!”
“Mereka terlihat dewasa. Mereka tidak suka berteriak sepertimu. Dan mereka berbicara dengan tenang. Dan mereka memperlakukanku seperti adik mereka,” kata Seohyun tenang. Dia membuka pintu kamar dan keluar. ”Cepat turun. Yang lain sudah menunggu.”
Aku menghela nafas putus asa.
Bukan keinginanku lahir dengan tiga orang saudara kembar. Aku adalah saudari kedua. Yang paling tua adalah Yuri, lalu aku, lalu Yoona dan terakhir Seohyun. Kami lahir prematur seperti kebanyakan kembar lebih dari dua yang lain. Tapi, berbeda dari kembar banyak lainnya, berbeda dengan orang yang lahir prematur lainnya dan berbeda dari orang Korea kebanyakan, kami berempat memiliki tinggi di atas rata-rata. Tinggi kami seperti Appa. Appa sangat tinggi. Tapi wajah kami sangat mirip dengan Umma.
Pernikahan orang tua kami tidak diizinkan keluarga besar masing-masing. Alasannya menurutku sangat konyol: karena orangtua Appa tidak ingin Appa menikah dengan seorang artis seperti Umma dan karena orang tua Umma tidak ingin Umma menikah dengan seorang pengacara seperti Appa. Menurut keluarga Appa artis adalah pekerjaan orang bodoh yang tidak pintar secara akademis. Dan menurut keluarga Umma pengacara adalah profesi yang paling penuh dengan kebohongan dan tipu daya. Sangat konyol kan? Maksudku, kenapa mereka tidak membiarkan saja anak mereka menikah dan hidup bahagia meskipun dengan orang yang tidak pintar secara akademis atau dengan orang yang penuh tipu daya? Yang penting mereka bahagia kan?
Appa dan Umma menikah secara diam-diam di Prancis. Di sana kami berempat lahir. Tapi saat kami berumur empat bulan keluarga Appa menemukan kedua orang tua kami. Lalu mereka melakukan sesuatu yang membuat mereka bercerai. Aku tidak terlalu mengerti apa itu. Tentu saja Appa tidak mau menjelek-jelekkan keluarganya sendiri. Tapi, yang aku tangkap dari penjelasan grogi Appa, keluarga Appa menyebarkan kabar bahwa Umma punya hubungan dengan laki-laki lain setelah menikah dengan Appa. Atau sesuatu semacam itu. Aku tidak begitu mengerti dan juga tidak ingin mengerti. Yang jelas, Appa kembali ke Korea Selatan dan tinggal kembali dengan keluarganya, membawaku dan Seohyun dan meninggalkan Umma, Yuri dan Yoona.
Sampai umurku 18 tahun tahun ini, aku percaya bahwa ibuku meninggal saat melahirkan aku dan Seohyun. Bahwa Seohyun adalah satu-satunya saudara kembarku. Dan bahwa hidupku sudah sempurna.
Sampai tiga minggu yang lalu ketika Appa membawa aku dan Seohyun ke sebuah restoran. Dia memperkenalkan kami pada seorang wanita cantik bernama Park Yoobin. Dan melihat bagaimana Appa memandangnya, aku yakin Appa jatuh cinya paadanya. Aku tidak mau itu terjadi. Meskipun Umma sudah meninggal dan bahkan aku tidak tahu bagaimana wajahnya karena kata nenek Appa membuang semua foto Umma waktu Umma meninggal, aku tidak mau Appa mencintai wanita lain.
“Ini adalah anak-anakmu, Sooyoung-ah dan Seohyun-ah,” kata Appa pada wanita itu.
Aku meradang pada saat itu. Oke, kalau memang Appa ingin menikah dengan wanita itu aku tahu itu haknya. Tapi kalau mengatakan aku dan Seohyun adalah anak wanita itu aku tidak terima. Waktu itu aku sudah akan berteriak marah pada Appa saat wanita itu meraih aku dan Seohyun ke dalam pelukannya dan berkata, “Umma sangat merindukan Kalian.”
Dan setelah dia melepaskan pelukannya yang sangat lama─sekitar tiga menit─ aku baru menyadari bahwa wajahnya sangat mirip denganku dan Seohyun. Sejak kecil aku dan Seohyun sering menerka-nerka bagaimana bentuk wajah Umma. Dan kami sudah sepakat bahwa wajah Umma mirip dengan wajah kami karena tidak seorang pun anggota keluarga Appa yang wajahnya mirip dengan kami.
Setelah kami berempat duduk, dan setelah Seohyun menggenggam erat tanganku seperti setiap kali aku akan meledak marah, ayah berkata pada kami,
“Park Yoobin adalah ibu kandung Kalian.”
Aku bisa melihat Seohyun ternganga. Sangat jarang dia berekspresi seperti itu. Dia adalah salah satu orang paling kalem, tenang dan cerdas yang pernah aku temui. Tapi, ya, malam itu dia ternganga. Dan sepertinya aku juga ternganga karena aku tiba-tiba sadar bahwa mulutku terbuka.
“Ap-appa bercanda, kan?” kataku terbata-bata.
Ulang tahunku dan Seohyun masih tiga bulan lagi dan saat itu bulan November (jadi bukan April Mop), dan juga bukan ulang tahun Appa, tapi kenapa Appa membuat lelucon tidak lucu begini?
“Appa tidak bercanda. Dia memang ibu Kalian. Yang melahirkan Kalian,” kata Appa dengan agak grogi.
Dan aku mulai percaya. Appa, salah satu pengacara paling hebat di Korea Selatan, gugup saat berusaha meyakinkan kami, berarti itu memang benar. Fakta bahwa Appa tidak bersikap santai dan tenang seperti biasa meyakinkan aku bahwa Appa sedang tidak bercanda. Appa pasti merasa grogi menjelaskan hal ini.
Aku memandang lagi wajah wanita itu dan menemukan bahwa matanya besar, persis mataku dan Seohyun. Bahwa hidungnya kecil. Bahwa rambutnya hitam dan lurus. Sangat mirip dengan aku dan Seohyun.
“Ta-tapi... kenapa?” tanya Seohyun tergagap.
Pertanyaan bagus. Kenapa Appa baru mempertemukan kami sekarang? Kenapa keluarga Appa─dan Appa sendiri─membohongi kami? Kenapa Umma tidak pernah mengunjungi selama ini? Kemana saja Umma selama ini?
Dan setelah itu Appa dan Umma menceritakan semuanya. Dan aku tidak bisa untuk tidak percaya pada mereka, meskipun sangat sulit dipercaya dan, yah, agak menyakitkan.
Tapi, ternyata masih ada satu kejutan lagi untukku dan Seohyun.
“Besok malam kita akan bertemu dengan Yuri-ah dan Yoona-yah,” kata Umma sambil memandangku dan Seohyun lembut.
“Siapa mereka?” tanyaku heran. Aku belum pernah mendengar nama mereka sebelumnya.
“Yuri-ah adalah kakak Kalian. Sedangkan Yoona-yah adalah adikmu Sooyoung-ah,” Umma tersenyum lembut padaku, “dan kakakmu, Seohyun-ah.”
Aku ternganga lagi.
“Bagaimana mungkin? Aku dan Seohyun-ah cuma beda umur dua puluh menit! Bagaimana mungkin ada orang di antara kami!”
Umma melirik Appa sambil tersenyum.
“Yah, sebenarnya Kalian kembar empat,” katanya lembut.
(End Sooyoung’s POV)
*******
(Yuri’s POV)
Aku menggenggam tangan Yoona yang berkeringat. Kami sampai di rumah keluarga Appa lima belas menit yang lalu. Cuma berdua. Kami dijemput oleh supir Appa. Sementara Umma langsung berangkat ke gedung tempat acara resepsi pernikahan Umma dan Appa akan dilaksanakan.
Kami duduk di ruang depan seperti orang hilang sementara orang-orang berjalan lalu-lalang keluar masuk untuk mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk acara hari ini.
“Akhirnya Umma menikah,” kataku pada Yoona sambil nyengir.
Yoona membalas senyumanku dengan senyuman grogi.
“Mana Sooyoung-ah dan Seohyun-ah, ya?” tanya Yoona. Dia sudah menanyakan hal itu paling tidak empat kali dari tadi.
Aku tadi sudah menelepon Sooyoung, yang tidak diangkat. Lalu aku menelepon Seohyun dan mengatakan bahwa dia akan segera menemui kami. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka.
Tiba-tiba seorang laki-laki yang berusia sekitar 70 tahun muncul dari dalam. Dia tersenyum melihat kami.
“Yang mana Yuri dan yang mana Yoona?” tanyanya.
“Aku Yuri dan ini Yoona,” kataku sambil berdiri dan membungkuk. Di sebelahku Yoona buru-buru berdiri juga.
Laki-laki itu mendekati kami.
“Aku Go Dongwok. Sabong-ah sudah menceritakanku pada Kalian? Atau Yoobin-ah?”
“Iya...”
Bagaimana aku bisa lupa saat Umma menceritakan seorang laki-laki bernama Go Dongwok yang membuat Umma harus bercerai dengan Appa. Umma sudah menceritakan hal itu sejak aku dan Yoona masih kelas satu sekolah dasar.
Bertahun-tahun aku dan Yoona merasa benci pada laki-laki ini meskipun kami tidak pernah bertemu dengannya. Meskipun Umma berkali-kali meyakinkan kami bahwa tidak ada gunanya membencinya. Tapi kami benci pada orang yang membuat kami tidak mengenal ayah kami sendiri. Meskipun dia adalah ayah dari ayah kami sendiri.
Tapi, tiga minggu yang lalu Umma berhasil meyakinkan kami bahwa kami harus berhenti membenci kakek kami itu.
Waktu itu hari Minggu pagi. Dan kami baru sebulan berada di Seoul setelah pindah dari Paris. Umma memanggilku dan Yoona ke ruang makan saat kami menonton kartun pagi di TV. Aku ingat saat itu Yoona masih mengantuk dan dia hampir tertidur saat Umma baru memulai kata-katanya.
Umma berkata, “Nanti malam kita akan bertemu Appa.”
Dan Yoona, yang sebelumnya menyandarkan kepalanya di atas meja makan dengan mengantuk, langsung mengangkat kepalanya dengan cepat sekali.
Aku memang heran saat Umma tiba-tiba memutuskan untuk pulang ke Korea sebulan sebelumnya. Bukan berarti aku tidak suka berada di Korea. Aku selalu menyukai Korea karena sejak kecil Umma sudah mengajariku dan Yoona bahasa dan semua kebudayaan Korea meskipun kami belum pernah ke Korea. Tapi keputusan Umma sangat mendadak.
“Ini alasan Umma kembali ke Korea?” tanyaku.
Tapi sebelum Umma sempat menjawab Yoona sudah berteriak penuh semangat.
“Umma sudah bertemu dengan Appa? Di mana? Bagaimana wajahnya? Bagaimana laki-laki Go Dongwok itu?”
Umma tersenyum pada Yoona. Umma adalah salah satu orang paling lembut dan penyayang yang pernah aku kenal.
“Yuri-ah, Umma kembali ke sini bukan karena Appa. Umma baru bertemu Appa kembali dua hari yang lalu. Dan itu tidak sengaja saat Umma sedang berbelanja di supermarket dan Appa sedang di sana juga. Dan Yoona-yah, Kau lihat saja nanti bagaimana Appa Kalian itu.”
Aku merasa agak aneh kami membicarakan Appa seperti itu. Seolah-olah kami hanya berpisah sebulan dengan Appa karena Appa ada tugas keluar kota atau apa. Bukan karena orang tua Appa memisahkan kami dari Appa 18 tahun yang lalu. Yah, memang dari dulu kami sering mengobrol ringan tentang Appa. Dan kami tahu bagaimana bentuk fisik Appa dari foto-foto yang disimpan Umma. Tapi, membicarakan rencana pertemuan dengan Appa setelah 18 tahun terpisah menurutku harus lebih dramatis daripada itu.
Aku melihat pada Yoona dan dia terlihat sangat bahagia. Saat kami masih kecil dulu Yoona sering menangis saat diejek oleh teman-temannya karena kami tidak memiliki ayah. Umma tidak mau kencan dengan laki-laki manapun karena dia bilang dia masih mencintai Appa, meskipun menurut aku dan Yoona itu bodoh. Dan sekarang Umma bertemu dengan Appa, dan kami akan bertemu nanti malam, dan Yoona sangat senang. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain ikut bahagia. Apalagi aku melihat wajah Umma dan Yoona sangat cerah dan bahagia.
Yoona sedang mengoceh tentang baju apa yang akan dipakainya nanti saat tiba-tiba Umma berkata, “Kalian juga akan bertemu dengan saudara Kalian nanti.”
“Saudara? Maksud Umma sepupu?” tanyaku.
Umma tersenyum. “Bukan. Saudara kandung Kalian.”
Aku dan Yoona bertukar pandang. Setahu kami aku adalah anak sulung dan Yoona adalah anak bungsu. Tidak ada anak Umma dan Appa yang lain. Lagipula, berdasarkan cerita Umma, Umma dan Appa bertemu tiga bulan sebelum mereka menikah di Paris. Dan kami lahir setahun setelah mereka menikah. Kalau diandaikan Umma sudah hamil sebelum menikah, tetap saja waktu 15 bulan tidak cukup untuk melahirkan tiga kali. Kecuali...
“Maksud Umma saudara kandung kami itu juga kembar dan juga lahir prematur tujuh bulan seperti kami?” kejarku.
Umma mengangguk.
Aku mengerang. “Aku tidak pernah tahu bahwa aku punya kakak.”
“Bukan kakak. Sooyoung-ah dan Seohyun-ah adalah adikmu.”
“Umma jangan bercanda!” kata Yoona. “Bagaimana mungkin kami punya adik? Appa kan kembali ke Seoul waktu kami baru empat bulan. Dan kami akan tahu kalau Umma melahirkan lagi!”
Ini aneh. Tapi... Tiba-tiba ada kemungkinan lain yang muncul di kepalaku.
“Umma... Jangan bilang Sooyun dan Seohyong itu saudara kembar kami!”
Umma terkikik.
“Bukan Sooyun dan Seohyong, tapi Sooyoung dan Seohyun. Dan iya, mereka memang saudara kembar Kalian. Sooyoung-ah lebih muda lima belas menit daripada Yuri-ah dan Seohyun-ah lebih muda dua puluh menit daripada Yoona-yah. Dan Sooyoung-ah adalah kembar satu telur dengan Yoona-yah,” Umma menjelaskan dengan tenang seperti sedang menerangkan bagaimana cara naik bis dari rumah kami menuju Seoul University tempat kami akan mulai kuliah bulan depan.
Siang itu aku dan Yoona berbaring di kasur Yoona di kamar kami sambil membicarakan kira-kira seperti apa Appa, Sooyoung dan Seohyun itu. Kami masih shock dengan fakta bahwa kami punya dua orang saudara kembar lagi. Kami kembar empat! Kembar empat! Kembar empat bukanlah hal normal yang ada dalam setiap keluarga.
Dan malam itu aku menyetir KIA Elisabeth keluarga kami yang dibeli ibu dari teman SMA-nya ke sebuah restoran mahal di dekat Menara 101. Jujur saja, saat itu aku agak merasa minder karena semua mobil di tempat parkir itu paling tidak berharga lima kali lipat daripada mobil kami.
Saat kami mengikuti Umma ke lantai dua, tempat kami akan bertemu Appa dan dua saudara kembarku aku dan Yoona sejenak melupakan rasa grogi kami karena terpesona dengan interior restoran. Dan saat itu aku sadar, Sooyoung dan Seohyun akan berbeda dengan kami.
Aku dan Yoona tidak pernah benar-benar hidup sejahtera sejak kecil. Memang Umma tidak pernah membiarkan kami kelaparan dan selalu membelikan baju baru setiap tahun baru dan memasak kalkun panggang yang mahal setiap Natal. Tapi hanya begitu. Di Paris kami tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggir kota. Kami banyak makan pasta dan spagethi instan dan Umma juga jarang memasak untuk kami karena harus bekerja sebagai guru di sebuah sekolah mode kecil dan menulis karya fiksi untuk sebuah tabloid lokal. Kami tidak kaya tapi kami bahagia.
Tapi aku tahu. Appa adalah salah satu pengacara paling terkenal di negara ini. Mau tidak mau Sooyoung dan Seohyun pasti akan menjadi anak yang selalu sejahtera. Mungkin mereka membeli baju baru beberapa kali sebulan dan memakan kalkun panggang tidak hanya saat Natal, tapi juga saat Paskah, Thanksgiving, Hari Ayah, Hari Bumi Internasional dan Hari Anti Korupsi Seluruh Dunia. Kami kembar, ya. Tapi kami sangat berbeda.
Dan aku mulai takut kalau mereka berdua akan bersikap tidak baik pada Yoona. Meskipun sulit membayangkan saudara kembarmu sendiri akan menghinamu, tapi siapa tahu karena selalu hidup sejahtera Sooyoung dan Seohyun tumbuh menjadi gadis yang sombong, manja dan egois?
“Yoobin-ah! Yuri-ah! Yoona-yah!” aku mendengar suara berat seorang laki-laki dari meja yang di pinggir, di dekat jendela.
Aku menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan memakai kaos bergambar Simpson Family berdiri dan melambai pada kami. Appa! Aku ingat, itu adalah wajah yang sejak bertahun-tahun yang lalu sering masuk ke dalam mimpiku meskipun aku tidak pernah menceritakannya pada siapapun, bahkan Yoona sekalipun, dengan wajah sedikit lebih tua tentunya. Di sebelahnya ada dua orang gadis yang juga berdiri. Mereka berdua, pasti Sooyoung dan Seohyun, agak tetutup tubuh Appa yang melambai dengan penuh semangat. Mau tidak mau aku tersenyum melihatnya.
Kami sampai di meja itu dan Appa langsung memelukku dan Yoona. Umma mencium Sooyoung dan Seohyun. Dan akhirnya Appa mencium Umma. Di bibir! Aku bisa melihat wajah Yoona memerah saat melihatnya.
Dan setelah itu, kami diperkenalkan. Aku dan Yoona dengan Appa, Sooyoung dan Seohyun.
Pertama kali melihat Appa dengan kaus Simpson Family-nya aku tidak bisa berpikir selain betapa lucunya Appa. Dia bukan tipe seperti yang aku pikirkan selama ini. Yah, Umma memang sering bercerita bahwa Appa adalah orang yang humoris dan baik. Tapi, hampir semua pengacara yang kuketahui─rata-rata adalah pengacara para artis di Prancis dan Hollywood─adalah orang yang selalu serius dengan kening berkerut. Tapi aku senang mengatakan bahwa kening Appa tidak berkerut, bahwa dia sangat periang seperti Umma (aku pikir sekarang aku tahu kenapa mereka berdua saling jatuh cinta), dan bahwa sebentar saja mengenalnya aku langsung merasa dekat dengannya. Aku langsung merasakan feel memiliki seorang ayah yang baik dan penyayang.
Dan Sooyoung dan Seohyun. Yah, aku harus mengakui bahwa perkiraanku salah. Mereka sama sekali bukan gadis manja dan egois.
Pertama, aku tertukar antara Sooyoung dan Seohyun. Aku melihat wajah mereka berdua memang sangat mirip, kalau tidak bisa dikatakan persis, dengan wajahku dan Yoona (dan itu menolong sekali untuk menghilangkan kecanggungan-awal-perkenalan kami). Salah satu dari mereka memakai tube dress selutut berwarna biru muda. Rambutnya diikat rapi ke belakang. Dan yang satu lagi memakai kaus polo dan celana jeans gombrong sebetis. Rambutnya digerai dan berantakan.
Dan karena aku tahu Sooyoung kembar satu telur dengan Yoona, dan karena Yoona adalah tipe yang suka memakai dress, aku langsung berkata, “Sooyoung-ah...” saat memeluk yang memakai mini dress.
Yang memakai kaus polo langsung tertawa, “Hahaha, tujuh bulan bersama di perut Umma tidak membuat Kau bisa membedakan kami, ya? Aku Sooyoung dan dia Seohyun.”
Aku agak terkejut karena setahuku kembar satu telur sangat mirip dan tidak jarang mereka tidak mau berpisah rumah bahkan setelah masing-masing menikah. Tapi, terpisah 18 tahun bisa membuat kembar satu telurpun berbeda sekali.
Sooyoung adalah gadis yang sangat ceria. Sepanjang makan malam kami dia sering mendominasi pembicaraan. Dia juga sering mengeluarkan lelucon-lelucon lucu. Dan dia agak cablak untuk ukuran seorang gadis seperti kami. Aku tahu dari cara berbicaranya dan cara dia mengomentari gaya pelayan restoran yang mengantarkan makanan kami. Dan dia juga agak cuek jika dilihat dari pakaiannya yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah putri dari salah satu pengacara paling sukses di Korea Selatan.
Sebaliknya, Seohyun agak pendiam. Dia makan dengan tenang dan banyak tersenyum mendengar pembicaraan kami.
-bersambung-

2 komentar:

  1. chinggu... ffna keren.. aku udh baca smwa. ditunggu lanjutannya iyah...

    BalasHapus
  2. ffnya bagus! Tapi boleh ngasi saran ga? Hehe. Kayanya bakalan lebih bagus kalau ditambahin foto2 di setiap ffnya.

    Update soon?

    BalasHapus